Pada malam begini
kurindu dirimu
yang jauh di sana
sedang apakah engkau
duhai kekasih pujaan hati
Yan's Blog
Macam-macam
Kamis, 01 Desember 2016
Rabu, 05 Oktober 2016
KEMARAU YANG BASAH
Jalan masih terasa gersang dan
kering. Satu dua truk tanah melintas menimbulkan kepulan debu berwarna kuning
kemerahan. Sementara pohon-pohon Akasia yang berjajar di kanan kiri pintu gerbang, memandang
sendu dan tertunduk memperhatikan batangnya yang kusam, keriput, dan layu. Saya
mendekat, dan mengusap satu di antaranya, coba merasakan tiap guratan serta
residu dari semua peristiwa yang terekam
olehnya.
“Sendiri?” tanya Evi. Sejenak dia melambaikan sebelah tangan pada teman yang baru ke luar. “Nin mana?”
Jun menggeleng. “Belakangan Nin dekat sama Yus?” tanya Evi lagi sambil mendekat. Hela nafasnya terdengar, seakan coba menyamakan frekuensi kegundahan dalam hati saya. “Sabar ya, Jun …?”
Jun tersenyum tipis. Evi gadis cantik berkulit putih dengan hidung bangir. Sebelum lensa kontak dikenal, kedua iris matanya sudah berwarna sedikit kebiru-biruan alami. Banyak yang menduga bahwa di antara mereka berdua ada hubungan spesial, padahal kenyataannya tidak demikian. Kedekatan terjadi hanya karena kedua orangtua saling berteman, hingga secara periodik sejak kecil relatif sering bertemu. Lebih dari itu, Jun tidak menyukainya seperti layaknya suka kepada pacar. Pada waktu itu alasannya sederhana, secara fisik tubuh Evi tinggi dan besar. Jadi … ya teman saja. Konyolnya, dalam banyak kesempatan dia suka memperkenalkan Jun sebagai ‘adik’.
Evi pernah bilang Jun frigid kepada cewek. Alasannya sederhana, karena tak pernah melihat Jun dekat dengan cewek dalam hubungan yang biasa maupun khusus. Sebenarnya tidak ‘heboh’ begitu, melainkan karena ketidakmampuan bersosialisasi saja hingga kesannya canggung, dan tak peduli. Maka saat di SMA mereka bertemu, dia memperkenalkan Nindi. Katanya teman semasa SMP. Orangnya cantik, rambutnya panjang, dan kata banyak orang bibirnya seksi. Dibanding Jun, Nindi lebih berani dan agresif meski di awal perkenalan terlihat malu-malu.
“Sendiri?” tanya Evi. Sejenak dia melambaikan sebelah tangan pada teman yang baru ke luar. “Nin mana?”
Jun menggeleng. “Belakangan Nin dekat sama Yus?” tanya Evi lagi sambil mendekat. Hela nafasnya terdengar, seakan coba menyamakan frekuensi kegundahan dalam hati saya. “Sabar ya, Jun …?”
Jun tersenyum tipis. Evi gadis cantik berkulit putih dengan hidung bangir. Sebelum lensa kontak dikenal, kedua iris matanya sudah berwarna sedikit kebiru-biruan alami. Banyak yang menduga bahwa di antara mereka berdua ada hubungan spesial, padahal kenyataannya tidak demikian. Kedekatan terjadi hanya karena kedua orangtua saling berteman, hingga secara periodik sejak kecil relatif sering bertemu. Lebih dari itu, Jun tidak menyukainya seperti layaknya suka kepada pacar. Pada waktu itu alasannya sederhana, secara fisik tubuh Evi tinggi dan besar. Jadi … ya teman saja. Konyolnya, dalam banyak kesempatan dia suka memperkenalkan Jun sebagai ‘adik’.
Evi pernah bilang Jun frigid kepada cewek. Alasannya sederhana, karena tak pernah melihat Jun dekat dengan cewek dalam hubungan yang biasa maupun khusus. Sebenarnya tidak ‘heboh’ begitu, melainkan karena ketidakmampuan bersosialisasi saja hingga kesannya canggung, dan tak peduli. Maka saat di SMA mereka bertemu, dia memperkenalkan Nindi. Katanya teman semasa SMP. Orangnya cantik, rambutnya panjang, dan kata banyak orang bibirnya seksi. Dibanding Jun, Nindi lebih berani dan agresif meski di awal perkenalan terlihat malu-malu.
Jumat, 04 Maret 2016
Ketika Senja Tiba
Ketika Senja Tiba
Ketika senja tiba
ufuk barat belum lagi merangkai bunga
untuk ditanam di halaman bersemak
di sisi kolam kering
tanpa air dan pancuran
apalagi hiasan berbatu
mata putihku termangu
ini untukkukah
atau semu yang membebat?
Ketika senja tiba
pelangi tak berbias sempurna
di balik atap layu
warnanya pudar
hingga menyisa tanya
benarkah engkau tak suka aku di sana
ataukah aku yang enggan melangkah?
bicaralah surya
pada hati yang mulai kosong
gema menggeletar lirih
Ketika senja benar-benar tiba
kereta kuda itu sudah menunggu
aku tak bisa memilih pajero atau limousine
kusir tak peduli dengan tipisnya kantung
atau wajah yang enggan
suka ataupun tak
kereta tetap jalan
menuju senja terang
atau gelap
tak peduli
kuda, kereta, kusir
bahkan dengan rasa yang terkapar
aku bingung dalam tanya
benarkah pe?
benarkah du?
benarkah li?
Ckp, 190216
Ketika senja tiba
ufuk barat belum lagi merangkai bunga
untuk ditanam di halaman bersemak
di sisi kolam kering
tanpa air dan pancuran
apalagi hiasan berbatu
mata putihku termangu
ini untukkukah
atau semu yang membebat?
Ketika senja tiba
pelangi tak berbias sempurna
di balik atap layu
warnanya pudar
hingga menyisa tanya
benarkah engkau tak suka aku di sana
ataukah aku yang enggan melangkah?
bicaralah surya
pada hati yang mulai kosong
gema menggeletar lirih
Ketika senja benar-benar tiba
kereta kuda itu sudah menunggu
aku tak bisa memilih pajero atau limousine
kusir tak peduli dengan tipisnya kantung
atau wajah yang enggan
suka ataupun tak
kereta tetap jalan
menuju senja terang
atau gelap
tak peduli
kuda, kereta, kusir
bahkan dengan rasa yang terkapar
aku bingung dalam tanya
benarkah pe?
benarkah du?
benarkah li?
Ckp, 190216
Selasa, 12 Januari 2016
DAN SENJA PUN USAI
Dan
memperhatikan dengan saksama perempuan berkerudung merah hati itu. Wajahnya
agak tirus dengan make up tipis. Ada sedikit kerut-merut di kanan kiri hidung,
serta agak berkantung di kelopak mata bagian bawah. Kulitnya relatif putih
dengan beberapa flek sangat minimalis, dan nyaris tak terlihat dalam jarak
pandang tertentu. Dibalut busana muslim warna coklat tua dengan lengan sebatas
siku; namun dari arah dalam disambung manset panjang sewarna dengan
kerudungnya, wanita itu terlihat charming dan modis. Terlebih dipadu dengan tas
bermerek internasional pada lengan kirinya.
“Ke mana kita, Bu?” tanyanya sopan sambil melirik kaca spion ketika mobil mulai meninggalkan area parker. Dilihatnya wanita itu mengeluarkan smartphone.
“Sebentar. Jalan saja perlahan,” katanya. Kemudian terlihat dia menekan beberapa tombol angka, lalu mulai bicara dengan seseorang. “Assalaamu’alaikum … Kakak baru sampai nih, Ti …”
“Ke mana kita, Bu?” tanyanya sopan sambil melirik kaca spion ketika mobil mulai meninggalkan area parker. Dilihatnya wanita itu mengeluarkan smartphone.
“Sebentar. Jalan saja perlahan,” katanya. Kemudian terlihat dia menekan beberapa tombol angka, lalu mulai bicara dengan seseorang. “Assalaamu’alaikum … Kakak baru sampai nih, Ti …”
Langganan:
Postingan (Atom)